Wednesday, March 23, 2011

Lagu Kehidupan 3


KisahMesum.Com : Sambungan dari bagian 02


Sesaat kemudian kubaringkan tubuh Imel di sampingku, dan sekarang bibirku kembali bergerak merasakan asinnya keringat Imel di lehernya, terus menyusuri tepi belakang rambutnya.

“Fran.. ach.. ach.. ugh.. hhmm,” desah birahi Imel yang kembali naik.

Perlahan kucabut burungku, walaupun Imel masih berusaha menahannya, namun kubalikkan tubuh Imel dan sekarang dia tidur telungkup. Sementara itu jemariku kembali bergerilnya menyelusuri tubuh berkeringatnya, licin namun memberikan sensasi tersendiri. Bau khas parfum bercampur keringat seperti itu dapat terus mempertahan kejantananku.



Kemudian masih dalam posisi tidur telungkup itu kuselipkan burungku dari belakang.

“Egh.. hhmm.. ach.. ach.. ach.. Fran.. enak.. ach..!” rintih Imel tertahan.

Hanya dengus napas memburuku sebagai jawaban dari rintihan Imel, dan perlahan aku mulai mengocok lagi seraya menikmati betul gesekan leher burungku di sarangnya. Keluar masuk, keluar masuk, perlahan dan semakin lama semakin cepat seiring dengan lenguhan Imel yang semakin panjang.

“Ach.. ugh.. ugh.. ugh.., Fran.., terus.. ach.. ach..!”


Hingga suatu saat, kucabut dan segera kubalikkan tubuh Imel menghadap ke arahku dan segera kupentangkan kakinya lebar-lebar dan kuraih betisnya untuk segera kunaikkan ke pundakku. Terbuka sudah hutan basah itu dengan bibirnya yang masih terpecah menganga dengan warna merah muda dominan di bagian dalamnya, sedangkan bibirnya berwarna lebih tua dan bengkak, nampak besar bibir itu tidak sebanding dengan panjangnya.


Namun pantat itu tidak dapat diam, terus menggeliat, mencari cengkraman yang hilang.

“Fran.., cepet, gue.. ach.. ngga.. tahan.. ach..!” pinta Imel seraya terus mengangkat-angkat pantatnya berusaha menutupi kegelisahan dan kekosongan liangnya.

Dengan gagah dan sedikit sentakan kuat segera kuhunjamkan batangan itu masuk dan menyentuh hingga ke dasarnya.

“Aacchh..!” desah Imel terpuaskan.


Sementara aku segera memompa dengan kecepatan tinggi yang terus meninggi hingga batas tertentu yang kurasa pas untuk kupertahankan untuk beberapa saat. Hingga pada suatu kesempatan, kepala Imel terangkat dan segera menghisap kuat dadaku hampir bersamaan dengan hentakan kuat batanganku sebelum melepaskan pelurunya tepat di dasar vagina Imel.


“Fran..,” rintihnya halus bersamaan dengan ambruknya tubuhku menindih tubuh Imel setelah sebelumnya kubiarkan kaki Imel turun dari pundakku.

Lemas rasanya seluruh tubuhku, dan genggaman Imel di antara jemariku memberikan sensasi tersendiri. Kulit kami yang berkeringat juga memberikan rasa licin yang menambah kehangatan yang ada, dan tentunya juga bau khas keringat nafsu.


Bab IV


Gerakan daun pintu kamar sempat tertangkap oleh sudut mata Imel saat dia membuka matanya, sehingga secara reflek dia menoleh ke arah pintu kamarku yang tidak terkunci tersebut. Reflek aku juga ikut menoleh dan.., masih sempat terlihat Sandra ada di balik pintu itu sebelum dia tutup karena terkejut, tidak kalah terkejutnya dengan aku juga.


Segera aku bangun dan meraih celana pendek serta kaos yang kusampirkan di kursi belajar tadi, dan segera aku keluar kamar. Tidak ada. Bagai lari kesetanan aku meloncati 3 sampai 4 anak tangga sekaligus dan mencari keluar, namun ketika aku sampai di luar hanya ekor dari Honda Civic coklat susu model terbaru yang sempat kulihat.


Segera aku masuk dan menelpon, tentu ke HP Sandra yang kutuju, tapi tidak ada respon. Wah, pusing aku. Hancur lagi dech hidupku. Aku terduduk di kursi ruang tamu tanpa tahu apa yang harus kulakukan, bengong seperti orang bego habis ketangkap basah, mau apa lagi..?


“Siapa Fran..?” suara lembut dari belakang itu menyadarkanku bahwa masih ada orang lain di rumah ini.

“Sandra.., cewe gue,” sahutku pendek.

“Ooppss..,” ada nada sedih, “Fran, apa yang bisa gue bantu?” tanya Imel lirih.

“It’s OK.., lo pulang aja dech..!”

“Fran..?”

“Gue ngga pa-pa kok..,” sahutku lirih seraya berusaha memberikan senyum untuk meyakinkannya.


Yach.., ini juga salahku, dan aku tidak mungkin menyalahkan Imel oleh karena tadi aku juga mau melakukan itu. Kemudian memang kebiasaanku dari dulu, siapa saja yang cari aku di rumah ini berarti temen dekat, dan biasanya mereka akan langsung naik ke kamarku. aku juga tidak dapat menyalahkan Pak Prapto, tukang kebun, atau Bik Imah, pembantu rumah ini, karena sudah tahunan mereka bekerja dan semuanya tahu kebiasaanku, kalau teman-temanku yang tahu rumah ini biasanya langsung ke kamarku. Kalau bukan teman dekat mereka tidak akan tahu rumahku yang ini, jadi aku juga tidak dapat menyalahkan mereka.


“Fran, gue sebenarnya mau ngucapin terimakasih lo udah bantu kesulitan keluarga gue,” kata Imelda perlahan.

“Yach..,” sahutku pendek.

“Sorry Fran, atas kejadian ini.., kalau lo butuh gue untuk jelasin ke Sandra nanti call gue yach..!” pinta Imel merasa bersalah.

“Oke,” sahutku pendek.

Dan setelah itu Imel pun segera pergi dan berlalu.


Segera setelah Imel pulang, aku mencoba menghubungi Sandra lagi via HP, tapi tidak aktif. Akhirnya aku mandi dan segera pergi ke rumah Sandra.


“Sore Tante,” sapaku ketika pintu rumahnya terbuka.

“Sore.. wah Fran, Sandranya ngga ada di rumah nich, katanya mau ke rumah kamu?” jelas ibunya Sandra kebingungan melihat kedatanganku.

“Eh.., anu Tante,” bingung aku mau bilang apa lagi, “Oh.., belum pulang Tante dari tadi?” tanyaku selanjutnya.

“Belum tuch,”

“Oh..ya udah Tante, biar Fran cari dulu.” sahutku seraya ingin segera berlalu.


“Ribut lagi, Fran?” penuh selidik beliau bertanya.

“Eh.. ngga Tante.” sahutku menyangkal.

Tapi senyum beliau yang memaklumi menyelamatkan perasaan kacauku yang sesungguhnya berkecamuk bagai badai di dalam dada. Ach.., memang aku yang salah.


Beberapa tempat sudah kucari, mulai dari teman dekatnya Sandra hingga beberapa tempat yang biasa dia kunjungi, tapi batang hidungnya tetap tidak nampak. Sampai jam 12 malam lebih aku masih berusaha mencarinya. Sudah kuminta juga bantuan teman dekatku untuk menginformasikan keberadaan Sandra bila mereka melihatnya, tapi tetap tidak ada berita, seperti hilang di telan bumi, sementara di rumahnya tetap belum pulang.


Hingga pada jam 24.45, “Malam.. Fran..?” suara lembut di seberang sana memanggil namaku ketika telpon itu kuangkat.

“Malam Tante, gimana sudah ada berita dari Sandra?” tanyaku cemas setelah aku dapat memastikan bahwa itu adalah telpon dari ibunya Sandra.

“Baru saja Sandra telpon, katanya dia ngga pulang malam ini, tapi ngga mau bilang tuch dia ada dimana.” jelas beliau.


“Oh.., tapi ngga kenapa-kenapa Tante?”

“Ngga ngomong tuch, cuma tadi pesennya ngga pulang aja malam ini.”

“Oh..”

“Ya sudah.., kamu pulang istirahat sana..!” pesan beliau sebelum mengakhiri percakapan di telpon malam itu.

“Baik Tante. Terimakasih dan selamat malam.” sahutku kecewa.

“Malam.” sahut suara di ujung sana.


Sampai 2 hari aku tetap tidak dapat menjumpai keberadaan Sandra, walaupun dia tetap telpon ke rumahnya, dan tentu saja hidupku semakin kacau. Gila.., satu urusanku belum dapat teratasi, perasaan salah itu kini bertambah lagi dengan kesalahan fatal yang kuperbuat sendiri. Semakin down rasanya, ingin menangis rasanya. Justru di saat aku susah gini, tidak ada teman yang dapat menghiburku. Tidak ada tempat aku dapat berkeluh kesah dan bermanja. Apakah semuanya salahku..? Memang aku sich yang salah.


4 hari setelah kejadian yang memalukan itu, ketika aku baru bangun tidur siang dan turun ke bawah untuk cari makan, “Den Fran.” panggil Bik Imah.

“Ada apa Bik?”

“Tadi Nak Sandra datang tapi ngga masuk, dia cuma titip ini sama Bibik, katanya minta disampaikan ke Den Fran.” sahutnya hati-hati.

“Apa?” bagai disengat kalajengking aku terkejut.

“Kok Bibik ngga bilang sich?” sahutku ketus menyalahkan seraya mengambil bungkusan kecil yang disodorkan oleh Bik Imah.

“Nak Sandra bilang ngga perlu Den.” sahut Bik Imah takut.

“Ya sudah.”

Memang aku juga tidak dapat menyalahkannya.


“Ada apa yach Den, kok mata Nak Sandra juga bengkak begitu kaya abis nangis.” jelas Bik Imah selanjutnya.

Mataku yang melotot sudah cukup untuk membungkam pertanyaan selanjutnya dari Bik Imah, dan tubuh ringkih itu segera pergi kembali ke dapur menuju habitatnya.


Isi dari bungkusan itu adalah selingkar cincin yang pernah kuberikan ke Sandra sebagai tanda cintaku saat pesta valentine tahun lalu. Aku beli cincin itu sepasang, satu buat Sandra dan satu lagi buat kupakai, yang sekarang sudah dikembalikan. Aku mengerti ini artinya Sandra sudah membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan kami, tapi rasanya aku belum puas kalau aku belum bertemu langsung dan berbicara dengannya.


Sore-sore aku datang lagi ke rumahnya dan menunggu lama, hampir 1 jam sebelum akhirnya Sandra keluar dan menemuiku.

“San..,” panggilku lirih.

“Ngapain lo datang-datang lagi?” sahutnya ketus.

“San.., gue mo minta maaf, gue bener-bener minta maaf dan gue mo jelaskan ke loe.”

“Mo nyangkal?” sahutnya tetap ketus.

“Ngga.. San, gue emang salah, tapi gue mo lo juga tau permasalahannya dan baru lo ambil keputusan.” pintaku memelas.

“Ngga perlu, biar gimana hati gue udah terluka dan gue ngga mungkin jalan sama lo.”

“San, tolong berikan kesempatan buat gue sekali lagi.” masih aku mencoba meminta.

“Sudah selesai dan tak ada penyesalan.” senyum dingin menghias bibir Sandra kali ini.


Ketegaran telah nampak di sikap Sandra, dan memang biasanya sulit sekali mengubah keputusannya. Aku sudah menceritakan semuanya ke Sandra tentang masalahku mulai dari kasus Irene yang selama ini kutanggung sendiri sampai juga ke soal Imelda yang akhirnya dipergokinya itu, namun semuanya tetap tidak mengubah pendiriannya untuk tetap mengakhiri hubungan kami. Aku juga sudah minta agar Sandra mau berpikir lagi 2 atau 3 hari lagi sebelum benar-benar mengambil keputusan, namun Sandra tetap menolak. Tegas sekali keputusannya dan tidak ada lagi langkah kompromi buatku.


Rasanya seluruh dunia berputar saat itu, masa sich orang lain yang nyeleweng berkali-kali masih dapat tempat maaf, sementara aku baru sekali saja sudah tidak ada lagi tempat maaf. Sebenarnya aku masih berharap bahwa aku masih dapat menjumpainya 2 atau 3 hari setelah pertemuan sore itu, namun itu semua tinggal harapan karena besoknya Sandra sudah pergi ke pedalaman Sulawesi menemani junior kami yang akan melakukan kerja lapangan selama 3 minggu di sana, dan aku tahu pasti di sana sudah ada Andre.


Andre adalah orang yang dulu sempat digosipkan pernah jalan sama Sandra, tapi disangkal oleh Sandra. Yang kutahu sich memang Andre naksir berat ke Sandra, tapi waktu itu Sandra yang menolak. Tapi sekarang sejarah sudah berubah, aku sudah mengecewakan Sandra, dan bukan salahnya kalau dia sekarang beralih ke Andre yang senantiasa setia menanti dan tidak ada lagi tempat buatku di hati Sandra.


Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak berguna. Hidupku sudah hancur rasanya, namun roda kehidupan harus tetap berjalan. Dan semuanya harus kujalani. Aku harus tegar, dapat menegakkan kepala, aku lelaki bung. Demikian semangat yang selalu kubangkitkan dari dalam.


Rasa sesal di dalam hati

Diam.. tak mau pergi

Haruskah aku lari dari,

kenyataan ini..

Lelah kumencoba,

‘tuk sembunyi..

Namun senyummu.. terus mengikuti

Lagu itu sayup-sayup terus bergayut dalam kalbu setiap malam menjelang tidur. Ach..


TAMAT