Friday, March 18, 2011

Cinta Yang Tak bisa Kumiliki

Ekskalator ini terasa lambat sekali. Mau lari, beberapa orang di depan saya cukup tidak tahu diri dengan berdiri diam tanpa memberi ruang. Sial! Saya lihat petunjuk arah di platform kereta KLIA Ekspres sudah tertulis '1 min'. Kalau aku sampai terlambat naik, malas sekali menunggu sekitar 15 menit untuk kereta berikutnya. Sampai di lantai platform, aku langsung menggeret koper besar bawaanku berlari menuju pintu kereta. Sinyal tanda pintu segera ditutup sudah menyala diikuti lampu merah yang berkedip-kedip.



Hup...!! Setengah loncat aku memaksakan diri masuk dan menarik koper yang tertinggal di luar. Selamat! Batinku sambil menghela nafas. Sekarang tinggal mencari tempat duduk setelah menaruh koper di tempat yang telah disediakan. Kereta sudah bergerak perlahan dan rekaman suara ucapan selamat datang plus claim bahwa kereta ini bisa menempuh jarak KL International Airport dan pusat kota Kuala Lumpur hanya dalam 28 menit sudah terdengar.
Ini kunjungan dinasku entah yang keberapa ke Kuala Lumpur. Jujur saja, aku amat menikmati setiap ditugasi kantor ke KL (baca: Kei-el). Cuaca yang tidak berbeda jauh dengan Jakarta, selera makanan yang mirip-mirip dengan yang ada di tanah air, biaya hidup yang terbilang murah, hingga budaya yang mirip dengan negara sendiri. Orangnya juga ramah terhadap orang Indonesia kecuali TKI ilegal. Yang beda, KL lebih modern dan teratur ketimbang Jakarta. Tak perlu berdebat karena itu kenyataan yang ada.
HP-ku tiba-tiba menjerit. Ya ampun, aku lupa masih memakai simcard Jakarta. Biasanya aku membeli simcard Malaysia setibanya di KLIA. Kali ini gara-gara urusan imigrasi, baggage reclaim, hingga custom yang nyebelin, saya jadi terburu-buru menuju platform KLIA Ekspres dan lupa membeli simcard.
Aku baca isinya dari pacarku, Dina. Seperti biasa, pacarku kurang bisa bermanis-manis di depanku, sama halnya aku ke dia. SMS yang isinya mengingatkan aku untuk beli simcard Malaysia seperti biasa.
'Jgn lupa beli sim M'sia. Sgr hub aku ya'
Entah aku yang aneh atau orang lain, karena aku kurang suka bahasa sms yang hobinya menyingkat-nyingkat kata. Iyalah, nanti, jawabku dalam hati tanpa me-reply sms Dina. Saat itu aku belum menyadari kalau kealpaan aku membeli simcard Malaysia ternyata ada untungnya.
Akhirnya aku sampai juga di kamar. Aku sudah bisa istirahat. Baru melepas baju dan rebahan, sekali lagi HP-ku menjerit. Sekali lagi dari Dina, mengingatkan hal yang sama. Huh! Cerewet banget sih ini cewe. Belum sempat melepas HP dari genggaman, sms lain datang. Tapi kali ini bukan dari Dina.
'Mas Adri, kt mas Eri lg ada di KL ya? nginep dmn? aku jg lg di KL. -Aida-'
Aku terlonjak kaget. Aida, istri sahabatku Eri juga lagi ada di KL? Kenapa Eri tidak bilang ke aku kalau Aida juga ada rencana ke sini. Kalau tahu kan apa-apa bisa diurus bareng. Hubungan aku dengan pasangan ini memang sudah akrab sejak dulu, sejak jaman aku kuliah. Mereka sudah berpacaran lama dan menikah belum setahun ini.
'Aida! Kok Eri ngga bilang kamu ke sini juga. aku di hilton, kamu di mana?'
Tak sampai semenit, muncul balasan.
'Ya.., seblhan dong, aku di Le Meridien. ktmuan yuk'
Nah! Ini dia kebetulan yang mengasyikkan. Segera terpintas dalam benakku sosok Aida yang menggairahkan. Cantik, putih mulus, bertubuh aduhai dan yang utama, berdada besar, selalu membuat mata laki-laki melotot melihat keindahan tubuhnya. Tak pikir panjang lagi, aku reply smsnya dengan kalimat tegas.
'Ayok. ketemu di lobby, sekarang!'
Aku langsung meloncat dan bergegas memakai sepatu. Setengah berlari, aku keluar kamar dan menuju lift. Tiba-tiba satu lagi sms muncul.
'lobby mana? LM apa hilton?'
Oiya lupa. Pintu masuk kedua hotel ini dari KL Sentral memang satu, tapi masing-masing punya lobby sendiri, yang hanya dipisahkan oleh pintu.
'Lupa, LM aja, aku ke sana.'
Tak sampai 10 menit aku sudah di lobby hotel Le Meridien. Duduk di salah satu kursi, aku menyisir pandangan ke segala arah, mencari sosok Aida. Tak lama, dari arah lift muncul perempuan yang tingginya sekitar 165 cm celingak-celinguk, sampai akhirnya mata kami saling berpandangan dan seutas senyum terumbar dari bibirnya. Kalau Aida tersenyum, aku malah hanya menelan ludah. Memakai kaus ketat warna hijau dengan rok selutut, lekuk tubuh Aida terlihat jelas. Dadanya menonjol besar sekali dan bergetar setiap ia melangkahkan kaki. Di tengahnya, sebuah garis sedikit gelap agak tersamar membelah dua tonjolan menantang itu. Aku paksakan tersenyum. Sungguh, ini pemandangan menegangkan bagi setiap laki-laki.
Aku jadi teringat saat aku pertama kali berkenalan dengannya di kampus. Ia adik kelasku tiga angkatan. Saat ia masuk aku saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (sekarang mungkin namanya Badan Eksekutif Mahasiswa). Pertama melihatnya saat opspek di kampus. Dan jujur saja, saat itu perhatian pertamaku padanya adalah buah dadanya yang super besar, meski disamarkan dengan kemeja sekolah putih. Aku beruntung karena akulah senior pertama yang dekat dengannya. Kami sering berdiskusi bersama di ruang Senat dan dari situ aku tahu Aida punya otak yang lumayan encer, meskipun agak polos dan lugu.
'Hei! Disenyumin dari tadi kok kayak orang linglung gitu,'
Aku pun berdiri menyambut uluran tangannya yang putih mulus. Salaman itu diikuti peluk cium penuh keakraban. Dadanya sedikit bersentuhan dengan dadaku ketika kami saling bertukar ciuman di pipi.
'Apa kabar mas? Mas Eri yang bilang mas mau ke sini. Waktu itu sempet ketemu Mas Eri ya?' cerocosnya dan kali ini aku tersadar dari tadi Aida yang membuka pembicaraan.
'Iya, tapi Eri sama sekali ngga bilang kamu mau ke sini juga, jadi aku kaget banget terima sms kamu,'
'Aku emang mendadak mas, dapet tugas dari kantor, gantiin temen yang sakit. Pas aku bilang mau ke sini, baru mas Eri bilang mas juga mau ke sini.'
'Oh gitu. Ok, sekarang apa rencananya? Mau keluar makan?' tanyaku basa-basi, padahal waktu itu jam masih menunjukkan pukul 11, mau makan jelas tanggung.
'Sekarang? Masih kenyang mas, sisa breakfast aja belum turun. Ke atas dulu aja yuk. Ayo dong, cerita-cerita dulu, kita kan terakhir ketemu pas kawinan,'
Wah, tawaran yang menyenangkan. Sekamar berdua dengan Aida. Huh, pikiranku mulai kacau. Tapi mendadak sontak aku membulatkan tekad dalam hati untuk membangun kedekatan kami di sini. Tentunya 'kedekatan' yang lebih dari sekedar sahabat lama atau istri sahabatku. Sempat juga terjadi pertentangan batin. Tapi, kali ini aku mencoba untuk berpikir sebagai laki-laki. Membangun kedekatan syukur-syukur bisa terbawa suasana dan terjadilah hal-hal yang sangat diinginkan, hehehe.
'Ngga papa aku ke kamar?' sekali lagi aku basa-basi, semata menjaga kesopanan.
'Ngga papalah, siapa juga yang tau, yuk,'
Aida langsung menggamit tanganku dan berjalan ke lift. Di lift, aku agak kaget karena lantai yang dituju Aida adalah lantai terbatas dan yang aku tahu adalah tempat kamar-kamar suite. Sial, dugaan aku benar, Aida menginap di kamar Executive Suite, kamar yang punya ruang tamu sendiri selain kamar tidur.
'Mestinya aku dapet jatah dari kantor kamar deluxe aja. Cuman sama mas Eri dibookingin suite. ya udahlah, ngga ada ruginya, lebihnya juga mas Eri yang bayar,' Aida seperti tahu kebingungan yang hinggap di kepalaku. Aida sama sekali bukan bermaksud sombong. Ia memang istri dari ahli waris pengusaha kaya yang sudah biasa hidup mewah. Aida sendiri bukan perempuan materialistis, tapi suaminya, sahabatku Eri, memang orang kaya. Meski istri orang kaya, Aida tetap ingin mengaktualisasikan diri. Itu sebabnya ia memilih bekerja di tempat yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan suaminya.
Di kamar, kami ngobrol berbagai hal. Aida paling antusias ketika topik beralih ke soal pacar dan kenapa aku belum juga menikah. Aku bisa menangkap nada ketidaksukaan Aida terhadap Dina, perempuan yang sudah aku pacari selama tiga tahun. Entah mengapa, padahal Dina dan Aida sebelumnya tidak saling mengenal. Dina aku kenal saat aku mulai bekerja sekitar tujuh tahun lalu.
'Jadi, calonnya masih si Dina?'
'Calon apaan? Statusnya dia emang pacar mas Adri, tapi kan belum tentu jadi calon,'
'Terus nyarinya yang kayak gimana?'
'Kayak gimana ya? Ngga tau deh, kayak kamu kali,'
Aha! Sekalimat rayuan mulai aku lontarkan, namun terus terang aku sama sekali tidak berusaha merayu Aida. Wajahnya sedikit cemberut, tapi aku tahu bukan cemberut kesal.
'Ih, kok aku sih, serius ah...'
'Lho? serius. Aku udah kenal kamu lama dan selama ini aku merasa kamu itu cewe yang menarik dan menyenangkan. Aneh kalo aku mencari yang seperti kamu? Kan ngga mungkin sama kamu,'
Wajahnya sumringah dan bersemu merah. Aida sedikit memajukan duduknya.
'Hus, jangan mikir gitu ah,' tangannya dikibaskan diikuti dengan tawa yang berderai.
Jam 13.30 waktu Malaysia (yang sama dengan WITA), kami memutuskan keluar mencari makan. Tujuan kami satu, kawasan Jl. Bukit Bintang yang merupakan pusat niaga KL. Di situ kita bisa mencari apa saja, tempat makannya juga banyak yang cocok dengan lidah orang Indonesia.
Dari KL Sentral, kami berjalan menuju stasiun monorail yang jaraknya sekitar 200-an meter. Sungguh, sepanjang jalan itu, puluhan mata lelaki saya perhatikan mencuri-curi pandang ke arah Aida. Selama berjalan bersama, aku selalu berusaha menjaga jarak. Aku tidak mau lancang karena belum tahu persis apa yang ada dipikiran Aida. Bagus kalau dia tidak menolak jika misalnya aku gandeng, atau rangkul. Tapi, seandainya menolak? Bisa repot. Bisa bubar semua rencana kelaki-lakian yang ada di otakku.

Hanya selama di monorail kami berdekatan. Sesekali aku mencuri pandang ke belahan di dadanya yang terlihat sekitar lima cm sebelum tertutup bahan kausnya. Saat berjalan menuju sebuah chinese food di dekat pertokoan Lot 10, aku sengaja berjalan di belakangnya sekedar supaya bisa mengagumi tubuh menggairahkan milik Aida.
Selesai makan, kami berjalan-jalan keliling KL. Aida bukan perempuan yang senang belanja, jadi jalan-jalan kami sebetulnya hanya untuk mengisi waktu. Ini pas dengan rencanaku untuk menbina kedekatan dengan Aida. Dan, rencanaku mulai tercapai karena menjelang sore setelah dua jam lebih berjalan-jalan, Aida mulai berani menggamit lenganku selama berjalan. Hahaha, sebagai laki-laki, Aida membuka kesempatan bagiku untuk menyentuhkan sikutku ke dadanya. Trik kuno memang, tapi tetap saja terasa enak. Dadanya empuk tapi tetap keras dan kenyal.
'Balik ke hotel yuk mas, pegel nih,'
'Ya udah, kita santai di hotel aja. Hotel kamu apa aku?'
'Sama aja lah. Atau ke Hilton aja, mas kan belum mandi dari tadi dateng,'
Betul juga. Aku memang belum sempat bersih-bersih sejak tiba di hotel.
'Ok, kamu mau ikut ke kamar aku? Kecil Da, kamar seadanya, namanya juga tugas kantor,'
'Ngga papa, ganti suasana, bosen aku di kamar itu terus udah dua malem,'
Ok kalau begitu. Kami pun langsung menuju Hilton setibanya di KL Sentral. Di kamar, sesuai rencana aku mandi, sementara Aida asik memainkan remote tv. Wajahnya seperti tidak antusias melihat beragam siaran tv Malaysia yang agak kurang berkenan di selera orang Indonesia. Belakangan ia malah pamit balik ke hotelnya karena ingin istirahat dulu. Tapi, kami janjian untuk dinner bareng sekitar pukul delapan. Aku sengaja tidak menawarkan diri mengantar semata untuk menghindari kesan aku ingin terus berduaan dengannya.
Sendirian di kamar, aku berusaha meredakan gejolak libido yang sedari tadi mengalir terus di sekujur tubuh. Tapi, semakin ingin diredakan aku malah semakin nafsu, apalagi membayangkan tubuh Aida yang menggairahkan. Berusaha tidur, yang ada batang kemaluanku malah semakin menegang. Sungguh serba salah dan menyiksa sekali. Aku berharap waktu berjalan cepat hingga tiba pukul delapan.
Sampai akhirnya tiba juga yang aku nantikan. Aku bergegas ke hotel sebelah untuk menjemput Aida. Kali ini aku bisa langsung ke lantai yang dituju karena Aida tadi menyerahkan satu kunci kamarnya ke aku. Aku menebak-nebak, baju seperti apa yang akan dipakai Aida. Kalau memakai baju seksi lagi, itulah yang aku harapkan.
Namun, keinginanku gagal terwujud. Saat membuka pintu, Aida malah masih mengenakkan kimono tidur dan tampang terlihat masih ngantuk. Benar memang falsafah orang tua, kalau mau melihat kecantikan perempuan, lihatnya saat ia bangun tidur. Itu yang terlihat pada Aida. Meski matanya masih ngantuk, ia malah terlihat makin cantik tanpa pulasan make-up.
'Baru bangun?'
'Iya nih mas. Aku cape banget. Kita makan di kamar aja apa? Room service aja ya?'
Yah, aku hanya bisa menuruti kemauannya. Mau apalagi, kalau perempuan sudah malas melakukan sesuatu, jangan dipaksa, malah bisa berabe.
'Ya udah, kamu yang pesen deh, kebetulan, aku mau nonton bola,' ucapku sekenanya, padahal aku belum tahu hari itu ada pertandingan sepakbola apa tidak di tv. Kalaupun ada, siapa lawan siapa aku tidak tahu. Sambil menunggu pesanan datang, Aida mandi sementara aku sibuk memencet-mencet remote tv. Suasana di kamar Aida memang nyaman. Menonton tv tidak terasa tegang seperti di kamar hotel biasa.
Aku kaget ketika melihat Aida keluar kamar mandi. Jantungku terasa bedegup kencang menyaksikan pemandangan luar biasa yang ada di hadapanku. Aida kali ini memakai baju yang jauh lebih berani dari tadi siang. Kaus tanpa lengan longgar dan hanya sebatas pusar dan celana pendeklah yang dipakainya. Kali ini aku bisa melihat putingnya mengecap di kaus bahkan sedikit bongkahan dadanya dari lubang di bawah lengan. Indah sekali, sungguh indah, membuat kemaluanku menegang.
Kenikmatan mataku berakhir ketika kimono yang tadi dipakainya tidur kembali dipakainya. Namun, karena kimono itu bukan kimono yang panjang, aku masih bisa melihat mulusnya paha Aida yang putih bak pualam yang bersinar.
'Siapa lawan siapa?'
Aida bergabung duduk di sebelahku. Kaki kanannya ditumpangkan ke kaki kiri. Seksi. Itu saja kesan yang aku rasakan.
'MU-Portsmouth,' jawabku pendek, aku sudah tidak konsen bahkan ketika room service datang mengantarkan pesanan kita.
Aida sibuk menyelesaikan pekerjaannya seusai kami santap malam. Wajahnya serius mengutak atik data di laptop. Menurutnya ia besok ada presentasi sekitar pukul 10. Daripada terburu-buru, ia ingin semuanya selesai sebelum tidur. Belakangan, setelah malam semakin larut, sepertinya ia mulai menemukan kesulitan untuk memprogram presentasinya. Melihat begitu, aku mencoba turun tangan dan membimbingnya menyusun presentasi dengan desain yang menarik. sampai akhirnya aku sendiri yang turun tangan mengerjakan.

'Udah, biar aku aja yang bikin, kamu tidur aja Da,'
'Ngga papa mas? Aku emang ngantuk nih,'
'Ya udah sana tidur aja, biar besok lebih segar,' saat itu waktu menunjukkan pukul 1 dinihari.
'Mas tidur di sini aja ya,' pintanya.
Wah! ini dia kesempatan emas yang aku nantikan. Tapi aku tahu diri dan menunjukkan karpet sebagai tempat nanti aku tidur. Aida setuju dan menyusun tempat tidur darurat dari bed cover. Saat mengatur tempat aku tidur itulah untuk pertama kalinya aku melihat payudara Aida secara frontal saat ia menunduk. Putingnya berwarna coklat muda yang membuatku semakin blinsatan sendiri.
'Di situ ya mas, aku tidur dulu, oya, kalo perlu celana pendek, itu ada lemari,'
'ok'
Sampai akhirnya semua pekerjaan Aida selesai aku susun. Mengambil celana pendek di lemari ruang tidur, aku melihat tubuh Aida tertutup selimut dan mustahil aku bisa melihat bagian-bagian tubuhnya yang menantang lagi. Kali ini aku sudah pasrah, dan sudah berpikir untuk memulainya lagi esok hari.
Namun, saat mencoba tidur, pikiranku kembali berkeliaran. Menurutku ini satu-satunya saat yang tepat jika ingin mendapatkan apa yang idam-idamkan selama ini. Menunggu besok artinya aku harus memulai lagi dari awal. Sekarang atau tidak sama sekali. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dan berniat menghampiri Aida yang sedang tidur dan mulai menyatakan keinginanku.
Tekadku sudah bulat, dan perlahan menggeser partisi. Tapi, bagai disambar petir, sebuah pemandangan di luar dugaanku terpampang di mataku. Kaus Aida tersingkap dan dengan posisi tangan yang terangkat ke samping kepala, buah dada Aida terlihat jelas. Dengan tegas aku bisa melihat detail bongkahan menggairahkan itu. Sejenak aku maju-mundur tentang apa yang akan aku lakukan. Langsung aku bertindak atau tidak. Sulit sekali menentukan pilihan. Jujur, aku ingin meremasnya dan menjilati puting buah dada yang besar dan menantang itu bahkan lebih, yaitu bercinta dengan Aida. Tapi, aku juga takut karena hubungan kami yang selama ini baik dan tidak ternoda hal-hal seperti itu.
Belum aku menentukan pilihan, tiba-tiba tubuh Aida bergerak dan terbangun. Keputusan harus aku ambil saat itu juga. Keputusan yang harus tepat tanpa ada ruang untuk kesalahan. Karena, sekali lagi, salah maka selamanya aku tidak akan bisa mewujudkan keinginanku untuk merasakan kemolekkan tubuh Aida.
'Da, sorry, ditutup dulu, sorry mas ngga sengaja ngeliat,' pilihan gaya gentleman yang akhirnya aku pilih, meski pilihan ini juga tetap mengandung resiko. Aku membalikkan badan pura-pura tidak mau melihat pemandangan yang tersodor kepadaku itu. Trik lama yang masih cukup ampuh.
Aida gelagapan mendengar kata-kataku. Bantal, selimut semuanya ia tarik sampai tubuhnya tertutup sempurna. Aku menunggu ia bereaksi atas tindakanku.
'Aduh...malu,' Aida menutup mukanya dengan bantal sambil melindungi dadanya dengan tangan.
'Sorry, Da. Aku ngga sengaja,'
Sejenak aku bingung. Aida menutup mukanya lagi. Kali ini aku yang mengambil inisiatif.
'Udah lah Da, aku minta maaf. Kamu ngga perlu malu, bagus kok, indah sekali, jauh dari memalukan,'
Dalam hati, aku terus memotivasi diri untuk berani merayu Aida. Kemaluanku semakin menegang melihat reaksi Aida.
Tak disangka, ia malah tersenyum dan menanggapi 'kecelakaan' tadi dengan canda.
'Ih...gombal,' sahut Aida masih menutupi mukanya.
Aku memberanikan diri untuk mendekat. Dengan mengingsut ke samping ranjang, aku mendekati Aida. Di bibirnya masih tersungging senyum. Meski sebelah hidung hingga mata tertutup bantal, Aida terlihat manis sekali. Rasanya kalau ingat kelakuan Eri, aku hanya bisa mengumpat dalam hati: 'Eri...Eri, cewe secakep ini kok disia-siain...'
Aku tahu persis kelakuan Eri, bahkan sejak masih kuliah. Maklum, waktu itu aku 'ngontrak' di rumahnya di kawasan Ciumbuleuit, Bandung. Eri memang meminta aku tinggal bersamanya di rumah yang memiliki tiga kamar itu. Sahabatku itu minta aku menempati kamar atas yang besarnya hampir sama dengan kamarnya. Tapi, aku berusaha tahu diri. Sudah dikasih tinggal gratis, kok kayaknya lebih pantas kita memilih yang cukupan saja. Jadi, akhirnya aku menempati kamar tamu di bawah.
Selain di kampus, di rumah itulah aku, Eri, dan Aida sering berdiskusi. Selain kami, teman-teman satu aliran di kampus juga sering berkumpul di rumah Eri. Selain jaraknya tidak lebih dari dua kilometer dari gerbang kampus, ruang tamu rumah Eri cukup representatif untuk menggelar rapat-rapat kecil. Aku dan Eri memang aktif di kampus sejak semester pertama. Puncaknya waktu angkatan Aida masuk, saat aku menjadi ketua Senat (sekarang Badan Eksekutif Mahasiswa).
Tapi, rumah itu tidak hanya saksi kegiatan positif kami sebagai anak muda. Di rumah itulah Eri selalu melampiaskan birahinya terhadap perempuan. Aduh, kalau disuruh menghitung, aku rasanya tidak sanggup. Sungguh, rasanya tidak ada ayam kampus yang tidak pernah diajak Eri ke rumah. Beberapa di antaranya bahkan kaget waktu tahu aku tinggal di situ juga, dan beberapa dari mereka cukup aku kenal baik dan aku baru tahu mereka itu ayam kampus setelah dibawa Eri.
Nah, biasanya, Eri meminjam kamarku untuk menggarap ayam-ayam itu. Alasannya mudah, semata untuk keamanan, kalau tiba-tiba Aida datang. Aida bisa langsung aku giring ke kamar Eri dan aku tinggal ke kamarku memberi tahu Eri. Itu rencananya, walaupun pada kenyataannya hanya sempat sekali Aida muncul saat Eri sedang bersama ayam kampus di kamarku. aku masih ingat, perempuan itu namanya Ita, dan dia teman satu angkatan Aida. Sampai Aida pulang, Ita aku larang keluar kamar.
Di rumah itu juga Aida menyerahkan keperawanannya kepada Eri. Bisa dibilang, aku adalah saksi hidup hubungan mereka. aku tahu persis kejadiannya yaitu saat mereka merayakan satu bulan berpacaran. Tidak banyak suara yang terdengar dari luar kamar kecuali suara ketukan ranjang yang bergesekan dengan tembok.
'Hayo...! Mau ngapain deket-deket...'
Suara Aida membuyarkan lamunan nostalgiaku dengan istana aku dan Eri di Bandung. Aku tersenyum mendengar suara Aida yang sudah tidak menutupi mukanya lagi.
'Ngga, emang ngga boleh deket-deket...?'
Jemari putih Aida mencubit lenganku gemas. Kami berdua tertawa dan tawa renyahnya justru membuat gairahku menaik.
'Mas, jujur nih, Mas Eri aja ngga pernah tuh ngingetin aku kayak gitu...Dia cuek aja tuh kalo aku pake baju ketat...'
Kali ini nada suara Aida agak serius meski dibibirnya masih tersungging senyuman. Aida membalikkan badannya dan tengkurap di atas ranjang sambil menatap aku. Dalam hati, aku kembali memotivasi diri bahwa inilah waktu yang tepat. Kalau mau, jangan ditunda-tunda lagi. Besok, antara aku dan Aida bisa lain lagi ceritanya dan aku harus memulai lagi dari nol.
Aku memberanikan diri membelai rambutnya. Ini bukan perilaku aneh antara aku dan Aida. Sejak masih kuliah, aku memang lebih menganggap dirinya sebagai adik. Ia memang berpacaran dengan Eri, tapi urusan bermanja-manja, Aida lebih bisa ke aku. Aida bereaksi positif akan belaianku, bahkan tanganku dipeluknya.
'Kamu kan sudah seperti adik buat aku, Da. Tapi, ngeliat seperti tadi, tetap aja aku kaget.' Aku diam sejenak menunggu reaksinya. Aida kembali tersenyum, sambil mendekap tanganku lebih keras.
'Tapi, sebagai laki-laki, aku juga ngga mau munafik. Kalo ditanya konak apa ngga, ya jelas aja konak...'
Aida sontak melepas tanganku. Ini dia momen yang menegangkan. Kalau tidak suka, pasti mukanya langsung cemberut dan membalikkan badan. Kalau begitu, sudah, semua usahaku pasti amblas. Tapi, Aida malah tertawa dan menjambak rambutku.
'Terus maunya apa? Aku pake baju lengkap ketutup rapet?' masih dengan nada candanya yang segar.
'Ya ngga lah..., dibuka juga ngga papa asal ngga malu...,'
Kami berdua tertawa dan seketika sama-sama berhenti dengan mata saling menatap tajam. aku yakin Aida sudah membaca keinginanku sejak siang tadi saat pertama melihat dia mengenakan tank top ketat yang membuat payudaranya menyembul, menantang setiap mata laki-laki. Dari tatapan matanya aku menebak-nebak yang ada di benaknya. Sungguh, kali ini aku berusaha percaya pada keyakinanku, meski perasaan takut tetap aku rasakan. Baru aku berpikir harus berbuat apa menghadapi momen birahi seperti itu, tiba-tiba Aida menarik tangan aku sampai mendekati dirinya. Kedua pipiku dipegangnya dengan kedua tangannya dan seketika juga aku kaget ketika bibir kami sudah saling bersentuhan.
Ciuman kami terasa lembut. Sampai ketika sudah sama-sama basah oleh air liur, Aida melepasnya. Tangannya masih memegangi kedua pipiku.
'Mau ngerasain megang?' suaranya hampir seperti berbisik yang aku sambut dengan anggukan pelan.
'Boleh...?' aku ganti bertanya. Kali ini Aida tidak mengangguk, ia berbalik terlentang dan membimbing tanganku ke atas dadanya.
'Yang halus ya Mas....' kembali bisikannya terdengar di telingaku.
Entah sensasi apa yang aku rasakan. Rasanya seperti terbang ketika tanganku tegas merasakan permukaan dada yang dihiasi dua gumpalan lunak berukuran besar itu, yang berukuran di atas rata-rata perempuan Indonesia. Saat berada di puncaknya, terasa tonjolan membelai telapak tanganku. Aida tersenyum dan membiarkan aku menjelajah seluruh permukaan payudaranya. Sesekali ia mengarahkan tangannya dengan gerakannya yang ia inginkan. Sungguh, puas sekali rasanya bisa merasakan payudara besar yang sudah membuat aku panas dingin sejak pertama melihat Aida sekitar sepuluh tahun lalu. Dugaan yang dulu aku buat tanpa pernah terucap, yaitu punya Aida pasti kencang dan berbentuk asli menantang sempurna ternyata benar saat aku meremasnya pelan. Jika dulu aku hanya bisa menatap kecut benda yang tersamar bra itu, kini aku bisa jelas merasakan dan meraba kondisi aslinya. Bentuk payudara Aida tidak berbeda jauh dengan bentuknya saat tersangga bra (yang aku tidak tahu persis berapa ukurannya).
Berikutnya aksiku ditambah sekali lagi ciuman di bibirnya. Sambil terus memagut dan meremas, aku menarik Aida untuk bangun. Aida tidak melawan dan menuruti kemauanku. Ia duduk di sisi ranjang dan meloloskan t-shirt yang aku kenakan. Hal yang sama juga aku lakukan. kaus longgar tanpa lengan yang hanya sanggup menutupi pusar dari bahan katun itu aku angkat melewati lehernya. Birahiku makin tak terkendali menyaksikan pemandangan di hadapanku, yaitu Aida polos hanya tinggal memakai underwear putih berenda di depanku. Terhadap payudaranya, aku mulai sedikit kasar dengan menambah tekanan remasan. Aida terlihat senang dengan perlakuanku itu. Nafasnya menjadi tak teratur setiap aku meremas payudaranya dan meraba nipplesnya yang berwarna coklat muda.
Deskripsi sahabatku tentang istrinya yang senang memegang kemaluan suami saat mereka bercumbu, terbukti. Tanpa diminta, Aida sudah menyelipkan tangannya ke dalam celana pendek yang aku pakai. tangannya yang hangat terasa di sekujur permukaan batang kemaluanku yang sudah menegang.
'Boleh dibuka...? Pengen liat,' Aku mengangguk dan membantunya melorotkan celana berikut celana dalam yang aku pakai.
Wajahnya gembira melihat kemaluanku menyembul keras dan tanpa dikomando lidahnya mulai menjilati seluruh permukaan batang yang mengeras itu. Uh...nikmatnya, rasanya selangit. Angan-anganku hanya ingin bisa merasakan payudara yang besar itu. Apa daya ternyata yang kudapat lebih dari itu. Sungguh, saat itu aku masih ragu untuk meneruskan aktifitas kami itu sampai ke puncak hubungan laki-laki dan perempuan. Apalagi saat aku sudah merasakan kuluman Aida di kemaluanku yang rasanya tiada tara itu. Memang tidak memuncak, tapi kalau saat itu kami sepakat menghentikan semuanya, aku sungguh sudah merasa puas lebih dari cukup.
Namun, sepertinya tidak ada tanda-tanda Aida ingin berhenti. Selesai Aida mengulum, kami berbaring di ranjang dan ganti aku mulai menjilati payudaranya. Bahkan kemudian Aida melorotkan sendiri celana dalamnya yang membuat kami sudah benar-benar telanjang bulat laksana sepasang anak manusia yang siap bertempur meraih indahnya kenikmatan dunia.
Perlahan keyakinanku semakin kuat seiring jemari dan lidahku yang mulai bermain di daerah kewanitaan Aida. Perempuan yang badannya terawat berkulit putih mulus ini menggelinjang hebat ketika lidahku menyentuh kemaluannya. Pahanya habis-habisan menopang lonjakan-lonjakan rasa nikmat yang semakin lama semakin meninggi. Sampai akhirnya pantatnya terhempas keras ke ranjang berulang kali. Tangannya meremas-remas sendiri payudaranya dan kemudian menarik aku ke atas.
'Sekarang..Da...?' pintaku untuk ijinnya menerobos lubang miliknya.
'Iya mas..., sekarang...,' jawabnya sambil mencium bibirku dengan keras.
Tak ada pilihan lain, tanpa perlu dibimbing, batangku sudah mengarah ke liang yang tertutup rapat gumpalan daging itu. Perlahan, dan berulang-ulang, batangku mulai masuk sampai akhirnya sempurna tertelan tubuh Aida lewat vaginanya yang terasa liat.
Airmata Aida menetes, tapi dibibirnya tetap muncul senyuman.
'...Da..., kenapa?'
Aida menggelengkan kepalanya, ia mendekapku semakin erat seiring gerakan yang semakin cepat. Matanya terpejam seperti ingin merasakan sensasi yang mengalir dari dalam liang vaginanya ke sekujur tubuh. Sesekali bibirnya kukecup yang selalu ia sambut. Di sini, aku baru menyadari bahwa Aida bukan tipe perempuan yang berisik saat bercinta. Hanya erangan lemah yang sesekali aku dengar. Kalaupun saat itu ia mengeluarkan suara yang keras, aku tak peduli. Kamar di Hotel Le Meridien ini kuyakini amat mendahulukan privasi tamunya.
Sungguh, kalau boleh jujur, inilah pengalaman paling luar biasa yang aku rasakan. Hanya melampiaskan dengan pacar dan beberapa pelacur, baru kali ini aku merasakan nikmat seutuhnya bercinta dengan perempuan. Sepanjang yang aku tahu, Aida tidak punya pengalaman dengan laki-laki selain Eri. Sampai mereka menikah sekitar sembilan bulan lalu, aku tahu mereka sangat aktif dalam bercinta. Menurut Eri, tidak ada satupun perempuan yang pernah ia tiduri yang bisa menyamai Aida. Dan ini diakui Eri sebagai alasan utama ia tidak bisa melepaskan kekasihnya yang sudah ia peristri ini.
Dan, pengakuan Eri itu kini aku rasakan sendiri. Aida paham betul harus berbuat apa agar kami sama-sama merasakan kenikmatan. Sesekali aku merasakan vaginanya berkontraksi, kontraksi yang sengaja ia lakukan. Pinggulnya juga bergerak mengikuti irama yang aku lakukan, serasi. Ketika orgasme sudah mendekat, Aida semakin keras mendekap tubuhku. Dan pas ketika ia berhasil meraihnya, kakinya menahan pinggulku agar berhenti bergerak. Lagi-lagi aku terkesima karena baru kali itu aku bisa merasakan kontraksi liang vagina perempuan saat orgasme, benar-benar tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Begitupun ketika tahu aku sudah mendekati puncak. Aida mendekapku dan menciumi bibirku sedikit liar. Dan, ketika aku menekan keras kemaluannya yang membuat batangku terbenam di dalam liang vaginanya, ia menyilangkan kaki sembari menjepit pinggangku. Sungguh, tak hanya muncratan yang terasa keluar dari ujung batang kemaluanku tapi juga pijatan dinding liang vagina yang membuat aku mengerang keras. Ini pertama kalinya aku ejakulasi sambil tak kuasa menahan erangan, karena merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Aku mengejang beberapa kali sebelum terkulai lemas, sejenak seperti tak kuasa bergerak. Disinilah belaian hangat perempuan aku rasakan lewat jemari Aida. Ia membiarkan aku menindih tubuhnya dan memelukku. Jemarinya mengusap punggungku lembut. Aida tampaknya mengerti aku baru saja melepaskan kepuasan yang luar biasa. Penantian dan rasa penasaran selama sepuluh tahun yang akhirnya bisa aku raih. Penantian untuk bisa merasakan belaian sayang perempuan yang aku kagumi sejak dulu. Sekilas, terlintas penyesalan kenapa dulu aku memutuskan mundur ketika tahu Eri juga tergila-gila pada Aida. Andai waktu itu aku memutuskan untuk bertarung dengan sahabatku itu, mungkin aku yang bisa setiap hari merasakan kenikmatan seperti ini.
'Mas...,' Bisikan Aida menyadarkanku dari lamunan, 'puas...?'
Aku hanya bisa mengangguk lemah sambil terus memejamkan mata. Rasanya tidak ingin meninggalkan kenikmatan yang baru aku rasakan itu.
'...Da,...'
Aida menunggu apa yang akan aku katakan. Kalimat yang tidak akan pernah selesai karena aku sendiri bingung mau mengatakan apa kepadanya.
'...kenapa Mas?'
Hanya gelengan dan senyuman dengan mata masih terpejam yang bisa aku berikan. Kepala ini rasanya tidak ingin lepas merasakan empuknya dua bukit di dada Aida. Ia kembali mengelus punggungku. Hembusan nafasnya terasa kuat di bahuku. Di bibirnya juga tersungging senyuman.
Lima menit lebih kami saling berpelukan seperti itu sampai akhinya aku memaksakan diri untuk bangun. Dalam posisi duduk di sisinya, aku memandangi wajah Aida. Sekali lagi, ia menyambut tatapanku dengan senyuman. Untuk beberapa saat kami tidak berkata-kata. Sampai akhirnya Aida membuka pembicaraan.
'Mas..., mas gila deh...,' katanya sambil mendorong dahiku dengan telunjuknya.
'Gila kenapa?'
'Bini orang disikat juga...,' bisiknya diikuti senyuman.
'Abis, bini orangnya yang mulai duluan...,' aku menjawab tak mau kalah set.
'Yeee..., kalo ngga dipancing juga ngga mau...,' kali ini cubitan mendarat di dadaku.
'Aww, mas bales cubit nih..., di dada,' candaku.
'Ih..., dasar...!'
Tawa kami pun berderai. Suasana kembali mencair seperti semula tidak lagi diselimuti birahi antara dua manusia berlainan jenis. Aida meminta aku duduk di belakangnya bersandar pada kepala tempat tidur dan melingkarkan tanganku di perutnya. Obrolan pun berlanjut, kembali seperti saat kami jumpa tadi pagi di lobby hotel tempatnya menginap di Kuala Lumpur ini. Bedanya, kali ini sudah tidak ada lagi halangan yang membatasi kami. Kalau sebelumnya ada semacam tirai yang dengan tegas membatasi posisi kami, kini semuanya lenyap dan kami tak ubahnya sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Nada suara kami pun sedikit berbeda, karena kali ini terasa lebih mesra.
'Kita habiskan hari-hari besok seperti ini Da? Selama di KL?'
Tangannya mengusap pipiku diikuti kecupan hangat bibirnya.
'Pinginnya begitu. Aida pingin melupakan Jakarta dulu termasuk Mas Eri...'
Duh, seketika muncul rasa cemburu di dalam diriku. Ya, Aida memang masih milik Eri, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan dengan status itu.
'Mas juga pinginnya melupakan Dina dulu kan...?'
Ah, pertanyaan yang sejujurnya sangat tidak aku inginkan keluar dari mulut Aida. Sungguh saat ini aku sama sekali tidak memikirkan Dina, pacarku, karena ingin total merasakan kemesraan dengan Aida.


'Iya..., mas sih sekarang taunya hanya Aida cinta mas Adri selama di sini. Mas juga pinginnya merasakan terus cinta Aida seperti sekarang...,' Ooops, tiba-tiba aku kaget sendiri kalimat seperti itu meluncur dari mulutku. Dalam hati aku tertawa sendiri, baru kali ini aku bisa gombal sama perempuan.
'Ih..., cinta-cintaan, kayak orang pacaran aja,' sahut Aida kali ini mencubit lenganku.
'anggap aja kita sekarang pacaran...' timpalku datar.
Aida berbalik dan seperti yang aku sudah tebak, ia tidak menolak ketika aku mencium bibirnya. Ciuman penuh kehangatan cinta yang sebetulnya tulus aku berikan, bukan sekedar nafsu belaka.
Aida, cinta sejatiku, yang tidak pernah bisa aku miliki seutuhnya...