Wednesday, March 23, 2011

Istriku Dientot Tetanggaku


Cerita Dewasa - Pesta 17 Agustus kemarin sunguh sukses di kampungku. Namun bagiku kegiatan itu justru meninggalkan luka dan kenangan yang tak pernah kuharapkan.

Untuk partisipasi pada panitia yang telah berusaha untuk menggembirakan warganya aku mengikuti lomba catur yang diselenggarakan. Lumayan untuk memperebutkan Piala Lurah Jonggol. Dan sebagai pecatur yang banyak pengalaman aku yakin bahwa Piala Pak Lurah akan menambah koleksi pialaku di rumah.

Pada malam final aku dipertemukan dengan jagoan catur RW lain dengan dihadiri Pak Lurah sendiri yang membuka acaranya. Dengan disaksikan para tetangga dekat maupun jauh pada sekitar jam 8 malam aku telah duduk semeja menghadapi papan catur dengan lawanku. Diperkirakan pertandingan final ini akan berlangsung sedikitnya 2 jam sejak dimulai.

Waktu merangkak semakin malam. Udara Jonggol yang cukup berangin memberikan kesejukan yang nyaman. Aku bayangkan alangkah nikmatnya tidur dengan udara sejuk macam begini sesudah beberapa malam kurang tidur dalam upaya memperebutkan malam final ini.

Tiba-tiba, belum juga 1 jam pertandingan berlangsung, aku diserang perut mulas dan harus ke belakang buang air. Kepada panitia aku memberi tahu dan minta ijin. Sesudah berunding dengan pemain lawanku, akhirnya aku setengah berlari pulang untuk buang air. Aku pikir salah makan apa hari ini.

Sesampai di depan rumah kulihat pintu rumahku telah tertutup dan lampu ruang depan nampak telah dimatikan. Kemungkinan istriku telah tidur atau sibuk nonton TV di ruang belakang. Namun aku yang memang siap pulang malam telah membawa kunci cadangan agar tidak perlu membangunkan istriku.

Saat aku hendak memasukkan kunci ke lubangnya aku terhenti. Jantungku berdegup kencang. Kulihat di lantai depan pintu kok ada sandal yang sangat aku kenali. Sandal itu milik Pakde Darmo tetangga sebelahku. Kami panggil Pakde karena usianya yang cukup jauh di atas kami. Lebih dari 55 tahunan.

Kami memang akrab bertetangga dan sering saling bertandang, Tetapi bukan malam-malam macam sekarang ini, apalagi saat aku tidak berada di rumah. Aku langsung khawatir dan cemas. Ada apa Pakde Darmo bertandang ke rumahku malam-malam begini? Dan dimana istriku? Apa yang mereka lakukan berdua di dalam rumahku?

Aneh, sakit perutku langsung lenyap. Aku penasaran dan aku tunda untuk tidak memasuki rumah. Aku akan ke jendela samping. Ada 2 jendela di samping rumahku. Dari lubang angin diatas jendela pertama aku bisa melihat ruang keluarga dimana istriku biasanya menghabiskan waktunya di depan TV. Dan dari jendela yang kedua aku bisa melihat kamar tidurku.

Aku mengendap-endap dirumahku sendiri menuju jendela pertama. Dengan bangku plastik yang selalu ada disana aku naik mengintip lubang anginnya. Ah.. Tak nampak orang disana. Aku mulai curiga. Kalau bertamu kenapa tidak di ruang tamu. Pelan-pelan aku turun dan pindah ke jendela ke dua.

Belum juga aku naik aku mendengar suara orang ngomong,
'Paling Mas Bas baru pulang nanti sekitar jam 11 malam. Kalau menang khan harus menunggu upacara penyerahan piala dulu,' itu jelas suara Indri istriku. Aku heran kenapa yang semestinya merindukan aku agar cepat pulang malahan mensyukuri aku lambat pulang.

'Hhmm..' sebuah jawaban yang sangat berwibawa. Tanpa kata namun penuh makna. Suara berat macam itu siapa lagi kalau bukan suara Pakde Darmo. Aku penasaran. Dengan bangku plastik itu aku melongok ke kamar tidurku.

Seperti Saddam Husein yang kena roket pasukan Sekutu aku hampir jatuh telentang saat menyaksikan apa yang telah kusaksikan. Di atas ranjang pengantinku dua orang yang aku cari ini sedang berasyik masyuk, melepaskan hasrat syahwat birahinya. Seperti penampilan hari-harinya Pakde Darmo hanya bersarung dengan kaos singletnya. Perutnya yang buncit tak bisa disembunyikan. Sementara istriku Indri telah setengah bugil. Hanya celana dalam dan BH-nya yang tinggal.

Dengan menindih tubuh Indriku mulut Pakde Darmo nyosor mengenyot-enyoti teteknya. Pantesan dia tak bisa ngomong.
'Sarung dan kaos singletnya dibuka dulu Pakde, nanti lecek,' istriku mengeluarkan omongan lagi sambil tangannya meraih menarik lepas sarung dan singlet Pakde Darmo. Kini Pakde sepenuhnya telanjang dan istriku tinggal bercelana dalam dan kutang saja.

Dengan perut buncitnya Pakde memeluki istriku dari belakangnya. Nampaknya Pakde suka nembak perempuan dari arah belakangnya. Tangan dan kakinya yang berbulu cukup lebat memeluk tubuh istriku. Bibirnya nyosor terus ke kuduk, ketiak dan buah dadanya. Tampak olehku puting susu Indri yang berwarna merah kecoklatan itu sudah berdiri tegak mengacung dengan pongahnya menandakan sudah sangat terangsangnya birahi Indri. Indriku nampak begitu menikmati dan larut dalam ulah Pakde Darmo ini. Rupanya permainan ini sudah cukup jauh. Kini mereka tengah mendaki puncak nikmat hubungan syahwat antar tetangganya.

Pakde Darmo adalah tetangga samping kanan rumahku. Dia adalah pensiunan pegawai rendahan sebuah BUMN. Walaupun usianya sudah lebih 55 tahun namun perawakannya masih sangat sehat. Dia tak pernah berhenti joging di pagi hari dan sesekali mengangkat barbel untuk merawat ototnya. Sebagai lelaki Pakde Darmo sesungguhnya tidak tampan. Namun dengan perut buncitnya dan bulu-bulu di badannya, Pakde Darmo sering mendapat lirikan para perempuan di kampung. Mungkin istriku, yang usianya 20 tahun lebih muda dari Pakde diam-diam mengimpikan bagaimana tidur dengan lelaki berbulu macam Pakde Darmo ini.

Dalam gelinjangnya istriku bangkit berbalik. Bibirnya menjemput bibir Pakde Darmo untuk berpagut sesaat sebelum lumatannya melata ke leher kemudian dada Pakde. Nampaknya istriku begitu keranjingan dengan bulu-bulu Pakde Darmo. Dengan penuh gairah lidah dan bibirnya menjilat dan mengenyoti bulu dada Pakde. Aku sangat 'shock' menyaksikan apa yang tengah berlangsung ini.

Aku sama sekali tidak mengira bahwa Indri istriku selama ini juga terobsesi pada Pakde Darmo. Tetapi yang lebih menampar harga diriku adalah membawanya ke ranjang dimana sehari-hari dia bersamaku. Aku tak mengerti apakah Pakde Darmo yang secara aktif memulai ataukah Indri yang sering menggoda syahwat Pakde.

Kini segalanya berubah cepat. Pakde sudah mengambil alih kendali. Dia sepenuhnya menindih tubuh Indri yang membuka selangkangannya. Tangan Indri dengan tangkas meraih kemaluan Pakde Darmo yang memang lebih gede dan panjang dari kemaluanku. Mungkin hal ini juga hal yang membuat Indri demikian terobsesi pada Pakde.

Dan yang terjadi berikutnya adalah ayunan Pakde dan goyangan istriku yang di bawahnya. kontol Pakde nampak begitu kaku dan tegar menembusi nonok Indri yang disekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu jembut keriting yang sangat subur menutupi lubang kawinnya.

Istriku menjerit kecil dan terus mendesah dan merintih. Kenikmatan birahi begitu menenggelamkan keduanya. Nampak cakar-cakar Indri sudah siap menghunjamkan kukunya pada punggung Pakde. Menyaksikan Pakde Darmo dan Indri istriku demikian nikmatnya saling mengayuh syahwat aku jadi terbawa hanyut. kontolku jadi ngaceng. Aku pengin mengelusi dan mengocok-ocoknya sambil menyaksikannya bagaimana istriku dilanda nikmat orgasmenya saat dientot Pakde Darmo ini.

Dengan dengusnya yang cukup meriuhkan kamarku nampaknya Pakde sedang menjemput puncak nikmatnya. Dia percepat genjotan kontolnya. Sementara demikian pula Indri istriku. Nampaknya orgasmenya akan hadir bersama ejakulasi Pakde. Kuperhatikan batang kontol Pakde yang berkilatan oleh lendir kawin Indri nampak seperti piston mesin diesel yang keluar masuk ke lubangnya. Aku membayangkan betapa nikmat melanda sanubari istriku. Dan.. Aahh.. ttuuhh.. lihaatt..

kontol yang terus menggenjot itu nampak membawa begitu banyak lendir dan busa keluar masuk memek Indri. Indri telah mengeluarkan cadangan lendir birahinya. Dan tubuh istriku nampak menegang dan kemudian berkejat-kejat. Cakarnya menghunjam dan melukai punggung Pakde. Indri mendapatkan orgasmenya yang sangat dahsyat selama, yang dalam pikiran dia, aku sedang bermain catur demi Piala Lurah Jonggol.

Dan aku tak mampu menahan diriku. Aku kocok terus kontolku sambil menyaksikan betapa sensasionalnya melihati istriku dientot tetanggaku sendiri dan kini melihati peju lelaki itu berserak meleleh dari lubang nonoknya. Pejuku muncrat menembak kaca jendelaku.

Aku cepat turun dari bangku plastik. Aku harus cepat balik ke pertandingan sebelum panitia menyusul aku.
Malam itu aku pulang dengan Piala Lurah Jonggol bersusun tiga yang kemasan. Tingginya sama dengan tinggi badanku yang 167 cm.
Istriku membuka pintu dan menyambut aku dengan bangga. Dia yang menaruh pialaku itu di tempat yang terbaik di ruangan itu.

* TAMAT *